Selasa, 26 Januari 2010

Fenomena Dokter Dispensing Menyebabkan Obat Lebih Mahal

by Ni Made Amelia Ratnata Dewi, Ni Wayan Agustini, and I M.A.G. Wirasuta


Sejak tahun 1240, bidang farmasi dipisahkan secara resmi dari bidang kedokteran dengan dikeluarkannya dekrit oleh raja Jerman Frederick II. Dekrit itu antara lain menyatakan, seorang tabib tidak boleh menguasai tempat penyimpanan obat atau melakukan bentuk eksploitasi apa pun terhadap penderita melalui hubungan bisnis penjualan obat. Pemisahan antara dokter dan apoteker merupakan konsep pengobatan modern yang berlaku saat ini sebagaimana berlaku di berbagai negara di dunia, yakni dokter menulis resep dan apoteker menyiapkan obat serta menyerahkannya pada pasien.

Dispensing berasal dari kata dispense yang dapat berarti menyiapkan, menyerahkan, dan mendistribusikan dalam hal ini adalah obat. Fenomena dokter dispensing sebenarnya bukan hal baru di dunia kesehatan Indonesia. Praktek ini telah berlangsung sedemikian lama dan menjadi kebiasaan. Hal yang tidak disadari oleh pasien bahwa sebenarnya praktek tersebut melanggar hukum jika di lingkungan tersebut terdapat apotek yang dapat dijangkau. Pada masa lalu, praktek ini dapat dimaklumi karena jumlah apotek yang sangat terbatas. Saat ini peraturan yang berlaku menyatakan bahwa praktek dispensing hanya boleh dilakukan pada kondisi yang sangat spesifik misalnya di daerah yang sangat terpencil. Hal ini dicantumkan dalam Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 35 ayat (1) huruf i dan j. Berdasarkan PP RI No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, yang termasuk pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Dengan adanya PP ini, maka dispensing merupakan salah satu pekerjaan kefarmasian.

Denpasar merupakan salah satu kota di Bali dengan tingkat penyimpangan praktek dokter dispensing yang tinggi. Berdasarkan hasil penelitian Widnyana (2009), yang dilakukan pada tiap kecamatan di lingkungan kota Denpasar tersebut menunjukkan bahwa di Denpasar utara tingkat penyimpangan obat penyerahan obat oleh tenaga medis sebesar 60,00%, di Denpasar Selatan sebesar 62,27%, di Denpasar Barat tingkat penyimpangan obat oleh tenaga medisnya sebesar 72,27% sedangkan di Denpasar Timur sebesar 65,45%.

Berdasarkan data di atas, diketahui bahwa dispensing obat oleh dokter tidak hanya dilakukan di pedesaan yang sangat jarang terdapat apotek, tetapi dilakukan di kota-kota besar yang terdapat banyak apotek. Praktek dispensing juga dapat membuka celah bagi oknum dokter untuk memberikan obat tertentu tanpa berdasarkan pertimbangan klinis yang benar karena tidak adanya pengawasan dari pihak ketiga. Kondisi ini makin diperburuk oleh industri farmasi yang menjalin hubungan bisnis dengan sebagian oknum dokter untuk meresepkan suatu jenis obat dengan merek tertentu. Praktek ini seharusnya dihentikan karena praktek dispensing dokter adalah ilegal dan dapat merugikan pasien

Adanya dokter dispensing obat ini merugikan pasien dari segi biaya dan pelayanan. Dari segi biaya menyebabkan harga obat lebih mahal. Sebagai contoh, seorang dokter umum memungut biaya pemeriksaan dan biaya obat pada pasien yang menderita demam rata-rata Rp. 50.000,00-. Jika biaya pemeriksaan sebesar Rp. 25.000,00- dan pasien diberikan obat antibiotik (Pehamoksilin®) dan penurun panas (Dumin®). Total harga obat tersebut di apotek adalah Rp. 10.000,00-. Jadi dokter mendapatkan keuntungan dari dispensing obat untuk 1 orang pasien sebesar Rp. 15.000,00-. Sehingga besarnya keuntungan dokter dari dispensing adalah 150 %. Jika umumnya dalam 1 hari dokter menerima pasien 10 orang maka total keuntungan pasien dari dispensing adalah sebesar Rp. 150.000,00-. Maka dalam setahun, keuntungan dokter tersebut sebesar Rp. 46.800.000,00-. Pada daerah yang terdapat apotek, dispensing tidak termasuk dalam pekerjaan dokter, sehingga dokter dispensing menyebabkan negara mengalami kerugian akibat tidak dibayarkannya pajak penghasilan dari dispensing obat oleh dokter. Pada contoh tersebut, negara kehilangan pajak sebesar Rp. 4.680.000,00-.

Jika pasien mendapatkan resep seperti di atas dan pergi ke apotek untuk membeli obat generiknya, pasien mendapatkan obat dengan harga yang lebih murah untuk penurun panas (parasetamol) dan antibiotik (amoksisilin) yaitu sekitar Rp 5.000,00-. Jika ditambahkan dengan biaya pemeriksaan pasien hanya membayar sebesar Rp 30.000,00-. Sehingga pasien dapat menghemat uang sebesar Rp 20.000. Jadi sebenarnya paradigma yang menyatakan fenomena dokter dispensing dapat mempermurah harga obat itu merupakan hal yang tidak benar.

Adanya fenomena ini juga menyebabkan pasien kehilangan haknya untuk mendapatkan asuhan kefarmasian. Tanpa adanya asuhan kefarmasian, tidak ada sistem yang mengelola dan memonitor dampak obat secara efektif. Pasien juga kehilangan haknya untuk mendapatkan informasi dan mendapatkan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan asuhan kefarmasian yang berperan dalam pencegahan kesalahgunaan obat (drug misuse), penggunaan obat yang berlebih (drug overuse), penyalahgunaan obat (drug abuse), dan efek-efek obat yang tidak diinginkan.

Untuk mengatasi fenomena dokter dispensing dibutuhkan suatu pembentukan aturan yang baru untuk mengatur secara jelas terkait batasan tugas dan wewenang tiap-tiap tenaga kesehatan dalam suatu aturan yang khusus dann terperinci, sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang keliru dari berbagai pihak. Kurangnya pengetahuan aparat menyebabkan tidak terdeteksinya pelanggaran ini sehingga perlu dilakukannya seminar tentang hukum kesehatan secara intensif kepada para aparat penegak hukum. Apoteker juga diharapkan untuk selalu ada di apotek karena ketidakhadiran apoteker akan terus menjadi alasan bagi tenaga medis untuk tetap melaksanakan penyerahan obat akibat kurang berperannya apoteker di apotek dalam memberikan informasi obat pada pasien. Bagi pihak yang melanggar ketentuan, patut diberi sanksi, berupa sanksi administratif yakni sanksi berupa teguran sampai dengan pencabutan izin praktik atau usaha.

sumber : gelgel-wirasuta.blogspot.com

PERMENKES RI No. HK.02.02/MENKES/068/I/2010

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/068/I/2010 Tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah

download (untuk download file : klik kanan save link as)

sumber : depkes

PEMERINTAH LAKUKAN REVITALISASI PENGGUNAAN OBAT GENERIK


Obat merupakan unsur penting dalam penyelenggaraan upaya kesehatan. Sebagian besar intervensi medik menggunakan obat, oleh karena itu akses masyarakat terhadap obat harus diperluas mencakup ketersediaan jenis maupun jumlahnya. Selain itu, perlu diperhatikan pula jaminan terhadap keamanan, khasiat, dan mutu obat serta penyebaran yang merata dan terjangkau bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Untuk menggalakan kembali penggunaan obat generik di sarana pelayanan kesehatan utamanya milik Pemerintah, dilakukan langkah-langkah strategis. Pertama, peningkatan efisiensi penggunaan obat melalui penggunaan obat yang rasional dan harga terjangkau, harus dilaksanakan dengan didasarkan pada risk-benefit ratio dan cost benefit ratio. Diharapkan organisasi propinsi dan IDI berperan besar agar para dokter meresepkan obat generik.

Kedua, peningkatan promosi penggunaan obat yang rasional utamanya obat esensial generik, untuk menyeimbangkan promosi/iklan obat yang berlebihan dengan pendekatan edukatif bagi masyarakat dan profesi kesehatan, dan ketentuan yang jelas tentang etika promosi obat yang lebih etis dan objektif serta implementasi dari code of conduct.

Ketiga, untuk menjamin kesinambungan suplai obat dilakukan dengan meningkatkan daya saing industri farmasi nasional dan infrastruktur jaringan distribusi dan jika diperlukan diberikan insentif ekonomi yang wajar, tanpa mengabaikan jaminan terhadap khasiat, keamanan dan mutu.

Keempat, sinergisme seluruh stakeholder terkait yakni pemerintah, lintas sektor, swasta, profesi dan masyarakat itu sendiri dalam upaya untuk meningkatkan ketersediaan dan keterjangkauan obat.

Kelima, untuk program jangka panjang dilakukan melalui skim Manage Care atau Sistem Jaminan Sosial Nasional yang melibatkan provider (dokter, rumah sakit dan pasien) dan third party payer (managed care organitation/MCO) yang menjembatani antara provider dan pasien, dengan menyediakan jenis pelayanan sesuai kebutuhan melalui pembatasan utilisasi yang berlebihan dan pengendalian biaya yang dikeluarkan.

Hal ini disampaikan oleh Menteri Kesehatan dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr. PH saat mebuka Seminar Revitalisasi Penggunaan Obat Generik di Sarana Pelayanan Pemerintah, di jakarta (12/01). Revitalisasi penggunaan obat generik merupakan salah satu Program 100 Hari Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II.

Menteri Kesehatan menjelaskan, sidang ke-55 World Health Assembly (WHA) tahun 2002 menganggap perlunya memperkuat kembali (revitalisasi) posisi obat essensial dalam mengatasi ketersediaan dan keterjangkauan obat dengan keluarnya satu resolusi mengenai jaminan atas akses terhadap obat esensial, (Resolution WHA A55/49) ” Ensuring Accessibility of Essentials Medicines”.

Resolusi tersebut, menurut Menkes, juga memperkuat DOHA Ministerial Declaration on the TRIPs Agreement and Public Health November 2001. Dinyatakan, setiap Negara perlu memiliki komitmen atas pemanfaatan fleksibilitas ketentuan perdagangan dunia seperti HKI (Hak atas Kekayaan Intelektual – TRIPs) untuk kepentingan rakyatnya dalam hal akses terhadap obat esensial yang terjangkau, khususnya saat keadaan kritis dan mengancam jiwa (life threatening).

“Kedua komitmen global tersebut sangatlah penting artinya bagi Negara berkembang yang umunya memiliki keterbatasan dana untuk obat dan infrastruktur lain, termasuk Indonesia,” tegas Menkes.

Untuk Indonesia, kedua komitmen global tersebut sangat relevan untuk memperkuat Kebijakan Obat Nasional (KONAS) sebagai komitmen dan pedoman dalam pelaksanaan kegiatan di bidang obat, tambah Menkes.

KONAS merupakan kebijakan yang menyeluruh, mencakup berbagai unsur meliputi sumber daya, infrastruktur, serta aspek lainnya yang sejalan dengan tujuan KONAS yang mencakup antara lain menjamin ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat terutama obat esensial. Menjamin keamanan, khasiat dan mutu semua obat yang beredar serta melindungi masyarakat dari penggunaan dan penyalahgunaan obat, serta menjamin penggunaan obat yang rasional.

Penggunaan obat generik dalam pelayanan kesehatan publik telah dicanangkan sejak tahun 1989 dantelah di kenal di masyarakat, tetapi hasilnya belum menggembirakan. Bahkan, beberapa tahun terakhir ini mengalami penurunan yang cukup signifikan terlihat dari trend pasar obat nasional.

Dalam lima tahun terakhir, pasar obat generik turun dari Rp. 2,525 Triliun (10,0 % dari pasar nasional) menjadi Rp. 2,372 Triliun (7,2 % dari pasar nasional). Sementara pasar obat nasional meningkat dari Rp. 23,590 Triliun tahun 2005, menjadi Rp. 32,938 Triliun tahun 2009.

Sementara itu, ketersediaan obat esensial generik di sarana pelayanan kesehatan baru mencapai 69,74 % dari target 95 %, anggaran untuk obat esensial generik di sektor publik sebesar 14,47 % dengan target setara dengan 2 USD perkapita. Peresepan obat generik di Puskesmas mencapai 90 %, sementara di RSU serta RS Swasta dan Apotek masing-masing 66 % dan 49 %.

Berdasarkan data diatas, ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat khususnya obat esensial dapat dicapai antara lain melalui rasionalisasi harga obat dan revitalisasi penggunaan obat generik.

Pada seminar yang dihadiri pejabat Eselon I dan II di lingkungan Kementerian Kesehatan, Direktur RS se-Jabodetabek, serta Dekan Fakultas Kedokteran, Kedokteran Gigi, dan Farmasi se-Jabodetabek, Menkes menegaskan, akses terhadap obat, terutama obat esensial merupakan hak azasi manusia yang wajib dipenuhi pemerintah dan lembaga pelayanan kesehatan baik publik maupun swasta. Pemerintah akan terus mendorong dan mempromosikan penggunaan obat generik secara berkesinambungan dan konsisten sebagai salah satu langkah untuk pencapaian pemerataan dan keterjangkauan obat.

sumber : depkes

Senin, 25 Januari 2010

PROGRAM 100 HARI KEMENTRIAN KESEHATAN






Kamis, 14 Januari 2010

PINTAR MEMBACA OBAT

Pernah bingung saat menerima resep dokter atau membaca obat yang dijual bebas? Jangan malu, Anda tidak sendiri. Beberapa nama obat memang kerapkali membuat kening berkerut. Supaya tidak salah, jenis obat di bawah ini bisa memandu Anda mengetahui obat apa yang sebenarnya diminum.

  1. ACE inhibitor atau penghambat angiotensin converting enzim (ACE). Penghambat ACE ini merupakan kelompok obat untuk menurunkan tekanan darah.
  2. Antasid dan alginates. Antasid digunakan untuk masalah dyspepsia atau maag. Beberapa jenis antasid bisa dijumpai tanpa membutuhkan resep.
  3. Antibiotika. Juga dikenal sebagai antibakteri, merupakan jenis obat yang digunakan untuk masalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri.
  4. Antidepresan. Sesuai dengan namanya, obat ini untuk mengatasi depresi. Ada beberapa jenis obat antidepresan. Namun, dua jenis yang sering digunakan, yaitu obat tricyclic seperti amitriptiline dan imipramine serta selective serotonin re-uptake inhibitors (SSRIs) seperti fluoxetine.
  5. Antihistamin. Dikenal sebagai obat untuk alergi, seperti demam dan beberapa jenis batuk dan pengobatan flu.
  6. Benzodiazepine. Kelompok obat ini juga dikenal sebagai penenang minor dan sedatif. Yang banyak dikenal adalah diazepam (dengan nama valium) dan nitrazepam (dengan nama mogadon).
  7. Beta-antagonist. Obat jenis itu misalnya inhaler yang digunakan untuk melegakan serangan asma, mengandung beta-antagonist.
  8. Beta-blocker. Beta-adrenoreceptor sering disebut sebagai beta-blockers, bekerja untuk jantung dan sistem sirkulasi darah. Fungsinya, mengurangi tekanan darah.
  9. Calcium-channel blockers. Obat ini digunakan untuk masalah yang berhubungan dengan jantung dan sistem peredaran darah, termasuk tekanan darah tinggi dan angina.
  10. Kontrasepsi oral kombinasi. Merupakan salah satu dari banyak metode pencegahan kehamilan. Dinamakan demikian karena obat tersebut merupakan kombinasi dari dua jenis hormon perempuan, yaitu estrogen dan progesterone.
  11. Obat untuk mata. Beberapa kelompok termasuk dalam obat untuk mata, seperti glaukoma. Ada lima jenis obat yang digunakan untuk pengobatan glaukoma, yaitu miotik, simpatomimetik, penghambat beta, penghambat karbonik anhydrase, dan latanoprost.
  12. H2 antagonist. Ada beberapa jenis obat untuk mengobati luka lambung dan salah cerna. Satu yang terpenting adalah obat-obatan dari jenis H2 antagonist.
  13. Hormone replacement therapy (terapi sulih hormon). Terapi ini direkomendasikan kepada perempuan saat dan pasca menopause.
  14. Inhaler steroid. Obat inhaler jenis kortikosteroid atau steroid, digunakan untuk mencedah terjadinya gejala asma.
  15. Laksatif. Terdapat beberapa jenis obat laksatif yang bekerja dengan berbagai cara untuk meredakan atau mencegah terjadinya konstipasi (sembelit), seperti jenis diuretik.
  16. Nonsteroid anti-inflammatory drugs (NSAIDs) atau obat nonsteroid antiperadangan. Biasa digunakan untuk mengurangi peradangan dan meredakan nyeri. Yang biasa digunakan adalah ibuprofen.
  17. Parasetamol. Merupakan pereda nyeri. Kekuatannya hampir sama, tetapi tidak bekerja sebagai antiperadangan seperti aspirin.
  18. Proton pump inhibitor, obat penghambat pompa proton. Merupakan jenis obat yang digunakan dalam mengobati luka pada lambung dengan menghambat produksi asam lambung.
  19. Statin. Merupakan kelompok obat yang digunakan untuk menurunkan kolesterol darah.
  20. Steroid topical. Kortikosteroid topical atau dikenal dengan krim steroid, digunakan pada kulit untuk meredakan eksim dan beberapa gangguan kulit lainnya.

sumber : gayahidupsehatonline