Selasa, 22 Maret 2011

GUNAKAN ANTIBIOTIK SECARA TEPAT UNTUK MENCEGAH KEKEBALAN KUMAN





Hari Kesehatan Sedunia dirayakan setiap tanggal 7 April menandai dibentuknya Badan Kesehatan Sedunia (WHO), 63 tahun yang lalu. Setiap tahun, WHO memilih satu masalah kesehatan sebagai tema dan mengajak masyarakat seluruh dunia untuk meningkatkan semangat, kepedulian, komitmen dan gerak nyata dalam mencapai derajat kesehatan dan kesejahteraan secara optimal.

Tahun ini WHO menetapkan tema Antimicrobacterial Resistance and its Global Spread sedangkan Indonesia memilih tema “Gunakan Antibiotik Secara Tepat untuk Mencegah Kekebalan Kuman”. Tema ini dipilih karena penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat membahayakan kesehatan masyarakat secara global maupun secara individu. Hal itu juga sejalan dengan salah satu tujuan kebijakan obat nasional yaitu penggunaan obat secara rasional.

Menurut WHO, pemilihan tema dilandasi beberapa fakta. Lebih dari 50 persen obat-obatan diresepkan, diberikan atau dijual tidak semestinya. Akibatnya lebih dari 50 persen pasien gagal mengkonsumsi obat secara tepat. Padahal, penggunaan obat berlebih, kurang atau tidak tepat akan berdampak buruk pada manusia dan menyia-nyiakan sumber daya. Lebih dari 50 persen negara di dunia tidak menerapkan kebijakan dasar untuk mempromosikan penggunaan obat secara rasional (POR). Di negara-negara berkembang, kurang dari 40 persen pasien di sektor publik dan 30 persen di sektor swasta diberikan perawatan sesuai panduan klinis.

Penggunaan obat yang tidak rasional terjadi di seluruh dunia. Ditandai, penggunaan obat terlalu banyak/tidak sesuai dosis dan lama konsumsi tidak tepat, peresepan obat tidak sesuai diagnosis serta pengobatan sendiri dengan obat yang seharusnya dengan resep dokter.

Rendahnya kesadaran masyarakat dalam penggunaan obat yang tidak rasional perlu diwaspadai dampaknya, khususnya pada generasi muda mendatang. Apalagi pemakaian antibiotika yang tidak berdasarkan ketentuan (petunjuk dokter) menyebabkan tidak efektifnya obat tersebut sehingga kemampuan membunuh kuman berkurang atau resisten.

Jika hal itu terjadi, generasi muda mendatang akan mengalami kerugian yang sangat besar. Akan banyak penyakit yang tidak dapat lagi disembuhkan akibat resistensi. Sedangkan untuk mengembangkan antibiotik yang baru diperlukan waktu dan biaya yang sangat besar. Untuk itu perlu penggunaan obat secara rasional untuk mencegah masalah besar di masa yang akan datang.
Langkah-langkah antisipasi untuk meningkatkan perilaku penggunaan obat secara rasional sudah saatnya dilakukan. Upaya itu meliputi pendidikan masyarakat, pengawasan kepada petugas kesehatan dan ketersediaan obat secara simultan yang dilakukan oleh pemerintah maupun pihak-pihak terkait.

Penggunaan obat secara rasional (POR) yaitu pasien mendapatkan pengobatan sesuai kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang tepat bagi kebutuhan individualnya untuk waktu yang cukup dan biaya yang terjangkau bagi diri dan komunitasnya. Jadi POR memiliki empat aspek yaitu pengobatan tepat, dosis tepat, lama penggunaan yang tepat serta biaya yang tepat.

WHO mengajak pemerintah dan pemangku kepentingan untuk menerapkan kebijakan dan melaksanakan upaya pencegahan dan pengendalian timbulnya resistensi kuman. Pemerintah juga perlu menyediakan pelayanan yang tepat untuk mereka yang terkena resistensi obat.

sumber : Kemenkes RI

Selasa, 15 Maret 2011

Bahaya Radiasi Nuklir pada Kesehatan

Pasca gempa besar di Jepang, publik dikhawatirkan akan terjadinya ledakan nuklir pada reaktor Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima, Jepang. Ketakutan itu mungkin beralasan mengingat efek radiasi pada tubuh tidak bisa dianggap enteng.

Dampak radiasi menurut Dr. David J. Brenner, direktur Center for Radiological Research at Columbia University, tidak bersifat langsung. "Bisa berminggu kemudian baru muncul gejalanya," katanya.

Ia menyebutkan dampak radiasi pada tubuh tergantung pada material radioaktif yang dilepaskan dan durasi paparan. Level paparan yang tinggi bisa menyebabkan sindrom radiasi akut, bahkan kematian. Sindrom tersebut akan menimbulkan gejala mual, muntah, kelelahan, rambut rontok, serta diare.

Pada level yang lebih tinggi, korban yang terpapar bisa meninggal dalam hitungan minggu. "Penyebabnya adalah usus yang gosong," katanya.

Radiasi nuklir akan menganggu kemampuan sel untuk membelah diri dan berproduksi. Sel-sel di usus besar biasanya merupakan bagian tubuh yang paling cepat membelah diri. Demikian juga halnya dengan sel pembentuk darah di sumsung tulang yang sangat rentan terkena radiasi.

Sementara itu pada penduduk yang termasuk dalam kelompok risiko rendah, radiasi nuklir bisa memicu risiko kanker dalam beberapa tahun. Namun, hal ini juga tergantung pada lamanya paparan dan jenis radioaktif yang dikeluarkan reaktor nuklirnya.

Beberapa jenis material radioaktif ada yang dengan mudah diserap tubuh dan bertahan. Misalnya saja Iodin yang akan langsung diserap kelenjar tiroid atau strontium yang akan masuk tulang. Jenis radioaktif lainnya, seperti tritium, akan dengan cepat dikeluarkan tubuh.

Untuk mencegah bahaya radiasi, pemerintah Jepang telah memberikan pil potasium iodine yang bisa menetralkan pengaruh iodine tadi dengan cara mencegah kelenjar tiroid menyerap iodine. Namun menurut Brenner, iodine bisa masuk ke dalam tubuh manusia lewat berbagai cara, yakni udara atau makanan yang terpapar radiasi.

"Radioaktif iodine tidak harus masuk ke tubuh secara langsung. Iodine yang ada di udara bisa terserap ke tanah kemudian ternak memakan rumput yang tanahnya terpapar radiasi. Kemudian manusia memakan daging atau susu sapi itu," katanya.

Karena itu ia berpendapat pil potasium idodide kurang efektif mencegah kanker tiroid akibat radiasi nuklir. "Epidemi kanker tiroid pada korban nuklir Chernobyl bisa dicegah jika pemerintah segera melarang warganya minum susu sapi atau makan buah yang tumbuh dari tanah yang terkena radiasi," katanya.

Anak-anak berusia kurang dari 18 tahun, bayi, serta janin di dalam kandungan merupakan kelompok yang paling beresiko pada paparan radiasi karena sel-sel dalam tubuh mereka masih aktif membelah diri.

Sumber : New York Times